“Mereka
yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulangi sejarah
itu” (George Santayana)
“(Sejarah) ini sebagai penjelas, petunjuk dan
pelajaran bagi orang yang bertakwa” (Ali Imran 138)
Menurut Amien Rais, kondisi
Indonesia saat ini seperti ‘kondisi pada zaman Belanda’ terutama dalam masalah
kemandirian bangsa. Kata Amien dalam
bukunya ‘Selamatkan Indonesia’ : “Apa yang kita alami dan saksikan dalam
beberapa dasawarsa terakhir abad 20 dan
dasawarsa pertama pada abad 21 sesungguhnya, dalam banyak hal, merupakan
pengulangan belaka dari apa yang kita alami pada zaman penjajahan kompeni dan
pemerintahan Belanda di masa lalu. Perbedaan antara tempo doeloe dengan masa sekarang hanyalah dalam bentuk atau format
belaka. Dahulu pendudukan fisik dan militer Belanda menyebabka Indonesia
kehilangan kemerdekaan, kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, social,
hukum dan pertahanan. Sedangkan sekarang ini pendudukan fisik dan militer asing
itu secara resmi sudah tidak ada dan tidak kelihatan. Tetapi sebagai bangsa
kita telah kehilangan kemandirian, dan sampai batas yang cukup jauh, kita juga
sudah kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal, bangsa Indonesia tetap
tergantung dan meggantungkan diri pada kekuatan asing.”
Lebih lanjut Amien
menjelaskan : “Kedaulatan ekonomi yang telah kita gadaikan pada kekuatan asing
itu hakekatnya telah melemahkan kedaulatan politik, diplomatik, pertahanan dan
militer kita…Kekuatan-kekuatan korporasi telah mendikte bukan saja
perekonomian nasional, seperti kebijakan perdagangan, keuangan,
perbankan, penanaman modal , kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan,
perkebunan, pertambangan migas dan non migas, dan lain sebagainya tetapi juga
kebijakan politik dan pertahanan.
Amien mengingatkan
bagaimana organisasi bisnis VOC sejak
awal abad ke 17 telah mencengkeram Indonesia. Kemudian penjajahan itu
diteruskan pemerintah Belanda, diselingi penjajahan Jepang beberapa tahun, hingga sampai 1949. Kenapa VOC begitu mudah dan berjaya mengeruk
kekayaaan dan menguasai bangsa Indonesia?
Pertama, menurut Amien, Pemerintah Belanda memberikan dukungan politik
sepenuhnya. VOC diberi hak monopoli dagang di Hindia Timur (Nusantara) dan
dibantu menyingkirkan para pesaing dari Eropa seperti Inggris dan Belanda.
Sebuah Piagam Pemerintah Belanda diterbitkan yang bukan saja memberikan monopoli
dagang pada VOC , tapi juga wewenang untuk menduduki wilayah manapun yang
dikehendaki dan menjajah penduduk asli sesuai dengan tuntutan pasar dan
kebutuhan politik VOC sendiri.”
Tokoh Muhammadiyah ini
menambahkan: “Dukungan militer juga melekat dalam hampir semua kegiatan
VOC. Mustahil VOC mampu membuka wilayah
baru untuk diduduki dan penduduknya dijajah tanpa kekuatan militer sebagai
ujung tombak. Para jenderal yang menjadi pimpinan VOC seperti Jan Pieterzoon
Coen (1619-1629), Anthony van Diemen (1636-1645), dan Joan Maetsyker
(1653-1678) adalah tokoh-tokoh militer yang menggerakkan kekerasan dalam rangka
membunuh dan memperbudak penduduk setempat untuk mencapai tujuan dagang VOC.
Yang dilakukan oleh JP Coen malah mendekati kategori genosida.” Pernyataan JP
Coen yang terkenal adalah “Janganlah putus asa, jangan biarkan musuh-musuhmu
bebas, karena Tuhan bersama kita.”
Tahun 1669 VOC telah
menjadi organisasi bisnis terbesar di dunia dengan memiliki 150 kapal dagang,
40 kapal perang, 50.000 karyawan, angkatan darat 10.000 prajurit dan pembayaran
dividen sebanyak 40 persen. Kata Amien : “Kekayaan yang demikian dahsyat untuk
ukuran jaman itu tentu dapatdiperoleh karena kerjasama korporatokratik dari
tiga pilar utama, yakni VOC sendiri sebagai korporasi raksasa, kekuatan politik
Pemerintah Belanda, dan kekuatan militer Belanda yang selalu siap untuk
menggebuk setiap rintangan yang dihadapi VOC... Untuk mempertahankan
imperialisme dan kolonialisme mereka, negara-negara Barat memerlukan
komponen-komponen yang berupa perbankan, dukungan kaum intelektual, media massa
dan dukungan elite nasional bangsa yang terjajah. Hakekatnya korporatokrasi
pada awal abad 21 ini merupakan turunan belaka dari korporatokrasi empat abad
silam.”
Dukungan imperialisme
Belanda ini juga diperkuat terutama oleh kaum intelektual. “Snouck Hugronje
(1857-1936) adalah salah satu contoh intelektual-orientalis yang mengabdikan
kehidupannya untuk kepentingan imperialisme Belanda. Ia seorang sarjana
terkemuka di bidang peradaban dan bahasa-bahasa Oriental dan menjadi tangan
kanan Gubernur Jenderal JB Van Heutsz. Ia menasehati Van Heutsz bagaimana cara
memerangi rakyat Aceh. Atas dasar nasehatnya Perang Aceh menelan korban 50.000
sampai 100.000 nyawa rakyat Aceh dan jumlah yang lebih besar menderita
luka-luka. Contoh lainnya adalah Charles Olke Van der Plas (1891-1977) yang
pernah menjadi Gubernur Jawa Timur. Van der Plas dikenal sebagai tukang adu
domba antar golongan dan kelompok bangsa Indonesia untuk memperlemah perlawanan
Indonesia terhadap Belanda.”
Bila dicermati mengapa
VOC dan Pemerintah Belanda dapat menjajah Indonesia, tentu karena elit penguasa
saat itu, katakanlah para raja tidak semuanya melakukan perlawanan bersama
rakyat melawan kaum imperialis itu. Justru sebagian mereka berkolaborasi dengan
penjajah. Sebagai missal, Amangkurat I dan II yag menggantikan Sultan Agung
sebagai Raja Mataram justru mempermudah jatuhnya sebagian besar Jawa Barat ke
tangan VOC pada akhir abad 17. Ketika Amangkurat II digantikan oleh Pamannya,
Pakubuwono I, konsesi tanah yang lebih luas lagi diberikan pada pemerintah
Belanda. Pada 1755 wilayah Kerajaan Mataram telah mengkerut kecil. Seluruh
pulau Jawa telah jatuh ke tangan Belanda, kecuali Yogyakarta dan Surakarta,
itupun dipecah menjadi dua kerajaan, kesultanan dan kasunanan.
Akibat penjajahan VOC
yang lama itu, menurut Amien, mempengaruhi struktur mental anak bangsa.
Membongkar mentalitas inlander ternyata
tidak mudah. Contohnya, banyak pemimpin bangsa yang ketakutan dan panas dingin
ketika Presiden Bush akan mampir Indonesia pada akhir 2006. Pengamanan yang
diberikan pada presiden Bush yang sudah tidak popular itu, kata Pak Amien,
‘sungguh berlebih dan agak memalukan’. “TIdak ada negara manapun di dunia yang
menyambut Presiden Bush seperti maharaja diraja, kecuali Indonesia di masa
kepemimpinan Susilo B Yudhoyono. Seolah Indonesia telah menjadi vazal atau
negara protektorat AS,”tulis Amien.
(Bersambung) Oleh: Nuim Hidayat (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Kota
Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar