Oleh: Nuim Hidayat
(Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Kota Depok)
Kerajaan Islam Aceh
sejak awal punya hubungan erat dengan Timur Tengah. Hubungan dengan Timur
menjadi lebih kuat di Kerajaan Aceh pada abad ke 17. Hubungan ini dibuktikan
dengan jaringan ulama Makkah-Aceh. Ulama-ulama terkenal pada periode tersebut, Nurudin
ar Raniri (wafat 1608), Abdurrauf as Sinkili (1615-1693) dan Yusuf al Maqassari
(1627-1699) belajar di Makkah. Mereka membentuk ‘lingkaran komunitas Jawi’ (ashab
al jawiyin) dengan ulama Makkah yang mengajar mereka. Mereka juga menjadikan
kerajaan sebagai tempat untuk menyebarkan Islam di masyarakat. Ar Raniri dan as
Sinkilin berkarir di Kerajaan Aceh,
sementara al Maqassari yang lahir di Sulawesi, membangun karirnya di kerajaan
Banten, Jawa Barat.
Ar Raniri adalah ulama
pertama dalam jaringan dengan Timur Tengah abad ke 17. Ia lahir di Ranir,
sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Ibunya adalah orang Melayu.
Setelah menggali ilmu di tempat kelahiranya ia melanjutkannya ke Mekkah dan
Hadramaut. Setelah belajar lama dan menjadi ulama, ar Raniri pulang ke Aceh dan
diangkat menjadi Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh tahun 1637. Ia diangkat Raja
Iskandar Tsani (1637-1641). Selama menjabat sebagai Syaikhul Islam ini ulama
ini menulis lebih dari 29 karya (lihat
Ulama dan Kekuasaan, Jajat Burhanudin, Mizan 2012).
Ar Raniri bersikap
keras terhadap pemikiran sufi wahdatul wujud. Ia menggantinya dengan sufi yang
berorientasi syariat. Sikapnya yang keras ini membawanya membakar buku-buku
yang beraliran wahdatul wujud ini. Hingga akhirnya menimbulkan konflik di
kerajaan. Sementara saat itu kerajaan Aceh kedatangan ulama Minangkabau Saiful
Rijal yang menganut faham wahdatul wujud. Karena sikapnya yang dapat mengambil
hati raja, maka akhirnya ar Raniri diusir meninggalkan Aceh. Saat itu Raja Aceh
yang baru naik, Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675) cenderung mendukung Saiful
Rijal.
Di tempat
pengasingannya, Ranir, ulama ini tetap berkarya dengan menulis. Di tangan
muridnya Abduurauf as Sinkili (1615-1693), pemikiran ar Raniri dihidupkan
kembali. As Sinkili bersikap lebih kompromis terhadap faham wujudiyah. Karena itu tahun 1661, setelah ia kembali
dari Hijaz, raja Tajul Alam mengangkatnya sebagai hakim agung kerajaan, Kadi
Malikul Adil. Ia menulis buku lebih dari 22 buah.
Sedangkan Yusuf al
Maqassari diangkat sebagai dewan penasihat Sultan. Ia memiliki hubungan yang
dekat dengan Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Ia akhirnya
menikah dengan anak perempuan Sultan. Bersama Sultan Ageng ia melakukan
perlawanan keras kepada VOC Belanda. Karena Belanda melakukan tindakan
semena-mena terhadap rakyat Nusantara.
Kembali ke Aceh. Aceh
saat itu memang menerapkan syariat Islam. Kerajaan dengan tegas melarang
minuman beralhokohol, zina (hubungan di luar nikah), pencurian dan uang haram.
Kerajaan juga melarang berlakunya riba dalam masyarakat. Karena itu, bila Aceh
saat ini kembali mempraktekkan hukum Islam, maka Aceh kembali pada fitrahnya
dan menuju kegemilangan Islam.
Di dalam kitab Tajus
Salatin, karya ulama Aceh Bukhari al Jauhari (1603), perihal pentingnya
kekuasaan politik. Menurutnya, kekuasaan politik, yakni pengaturan masyarakat,
sejajar dengan tugas-tugas kenabian, yakni membimbing manusia ke jalan yang
benar. Kedua tugas itu harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya
digambarkan ‘dua pertama dalam satu cincin’.
Menurut Tajus Salatin
Tuhan adalah sumber otoritas politik bagi raja dan kedaulatan tertinggi
kerajaan. Nabi Adam digambarkan sebagai Nabi pertama yang diangkat Allah
menjadi khalifah atau raja pertama di bumi. Adam mengatur masyarakat
berdasarkan perintah Tuhan atau secara Islam. Kitab itu juga menggambarkan raja
yang baik yaitu Nabi Musa melawan raja tiran yang jahat Firaun. Karena
kejahatannya, akhirnya Firaun dihukum oleh Allah dengan ditenggelamkannya di
Laut Merah.
Tajus Salatin
memasukkan kriteria Islam bagi para raja. Para raja bisa bergelar khalifah atau
zill Allah fil alam dengan syarat mereka menjalankan kekuasaan menurut
prinsip-prinsip Islam. Semetara itu para penguasa tiran (zalim), yang
menjerumuskan kerajaan ke jalan yang sesat adalah bayangan Iblis atau khalifah
setan.
Kitab itu juga
menjelaskan sifat ihsan dan adil yang harus dimiliki para raja. Raja adil
adalah raja yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi
social rakyatnya, menganjurkan kebajikan dan melarang keburukan, melindungi
rakyat dari kejahatan, serta menjadi mirip wali atau Nabi dalam menjalankan
tugas-tugasnya.
Selain, Bukhari al
Jauhari, Nuruddin ar Raniri juga menulis kitab penting tentang politik dengan
judul Bustanus Salatin (1630). Buku ini menjadi pedoman Raja Iskandar Tsani.
Kitab ini terdiri dari tujuh buku. Buku pertama tentang penciptaan dunia,
kemudian sejarah para Nabi dan para raja dari masa pra Islam. Buku kedua
tentang sejarah Islam di Asia Tenggara, berpusat pada Kerajaan Malaka, Pahang
dan Aceh. Buku ketiga sampai keenam, tentang panduan politik dan nasihat bagi
para raja, didasarkan pada kisah-kisah yang berkaitan dengan khalifah atau raja
dulu. Buku ketujuh tentang prestasi Ilmiah kaum Muslim dalam bidang firasat,
anatomi dan kedokteran.
Sebagaimana Raja di
Aceh yang menerapkan Islam dalam kekuasaannya, raja di Jawa pun demikian.
Sultan Agung raja Mataram menerapkan syariat Islam di wilayah Jawa. Dia bahkan
mengubah sistem Kalender Jawa dari kalender Matahari Saka Hindu ke kalender
campuran bulan Islam Islam-Jawa (Ricklefs
dalam Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan).
Raja-raja Mataram
setelah Sultan Agung, seperti Pakubuwana II juga konsen terhadap perkembangan
Islam. Ia bekerjasama dengan para kiyai mendirikan pesantren-pesantren di
daerah-daerah Jawa. Diantara pesantren yang terkenal adalah Pesantren
Tegalsari. Bila di Jawa tumbuh pesantren, di Minangkabau tumbuh surau dan di
Aceh tumbuh dayah.
Pesantren biasanya
terdiri dari masjid, rumah pimpinan pesantren dan asrama santri. Di pesantren
ini para santri mengaji kitab secara langsung kepada kiyai. Dan biasanya selain
mengajarkan hal-hal keagamaan, para santri juga dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan
tentang bekal-bekal hidup di dunia. Seperti hal-hal yang berkaitan dengan tata
cara bertani. Karena itu biasanya pesantren punya tanah yang cukup luas.
Selain pesantren, hal
yang membantu dalam penyebaran Islam adalah perjalanan ibadah haji. Pemerintah
Inggris dan kolonial Belanda sangat khawatir dengan orang-orang yang telah
berhaji ke Mekah ini. Thomas Stamford Raffles (1811-1816) sangat
mengkhawatirkan keberadaan para haji ini yang mengancam kekuasaan colonial.
Pada tahun 1664, VOC pernah
melarang tiga orang Bugis yang baru pulang dari Mekkah untuk mendarat di
Nusantara. Alasan VOC “kedatangan mereka ke tengah-tengah bangsa Muhammad yang
percaya takhayul di daerah ini memiliki konsekwensi yang sangat serius.” Pada
tahun 1716, VOC membolehkan sepuluh orang yang telah berhaji untuk tinggal
dengan pengawasan yang ketat. Sementara Raffles dalam sebuah laporannya 10 Juni
1811 menulis,”dengan dalih mengajar orang-orang Melayu tentang prinsip-prinsip
agama Muhammad, menanamkan kefanatikan yang sangat intoleran dan membuat mereka
tidak mampu menerima suatu jenis pengetahuan yang berguna.”*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar